Refleksi Tentang Sisi Avoidant dan Keinginan Lebih Empati
Belakangan ini aku lagi lumayan mikirin gimana sih sikap-sikap ku selama ini ke diri sendiri. Aku ingin nulis refleksiku disini supaya bisa aku bawa ke alam sadarku lagi dan lagi. Biar kalau suatu hari aku lupa, bekasan dari pikiran ini bisa menyelamatkanku. Up-up-up!
Sejauh yang aku amati, aku punya sisi avoidant. Oya, tentang term avoidant yang aku maksud adalah salah satu attachment style ya. Kalau belum begitu kebayang apa itu, bisa check tulisanku di instagram yang ini.
Oke, let me tell you kalau pada dasarnya aku ingin bisa bersikap adil ke apapun dan ke siapapun. Termasuk diriku sendiri. Karena ketika aku bisa merasa bersikap adil atau seenggaknya berusaha maksimal untuk adil, and then I feel content by myself even it makes feel uncomfortable for a while.
Nah, masalahnya setelah aku mulai mengenal feeling dan empati, aku ngerasa there is something wrong (gak nyaman) ketika aku kasih reward ke diri sendiri atau memilih suatu kecenderungan yang aku inginkan. Kadang aku ngerasa itu kaya pemborosan. Karena rewardku itu berbentuk hal yang perlu aku beli dengan uang. Let’s say, itu kaya dessert, makan di resto, even beli buku.
I don’t really know why. Makanya aku ingin cari tahu. Apa kabarnya sikap-sikapku selama ini ke diri sendiri?
Baca juga, How’s Life? Take Care Ourself, End Year Thoughts, etc
This is my reflection…
Adil. Untuk bisa adil aku perlu bisa melihat realita apa adanya. Entah karena sikap defensive-ku yang udah berada di unconscious level, kadang ini bisa bikin burem. Yang benar dan salah kaya jadi kecampur-campur gak jelas. Ini biasanya bikin aku tambah cemas.
Kalau lagi kaya gini sisi judging-ku justru jadi lebih berkurang, aku suka tambah bingung harus mulai dari mana buat dealing sama situasi ini. Kalau aku amati, sometimes secara ‘otomatis’ aku lebih memihak ke kebutuhan orang lain karena sisi empatiku lagi main. (Maklum, masih anak kemarin sore kalau belajar tentang per-empati-an).
Ada bagian diriku yang ngerasa enggak layak aja gitu kalau aku mendapatkan kenyamanan, but in the other side I like it.
Sekarang dan dulu
Beda sama dulu. Aku biasanya langsung ‘ngacir’ kalau mencium bau-bau relasi yang akan jadi beban emosional. Aku gak mau terlibat dalam hubungan emosional sama orang lain. That’s why, aku selalu kasih jarak. Kalau kata orang-orang, dari luar aku kaya gak butuh orang lain.
Keliatannya kaya gak pernah reach out orang lain duluan. Ada juga yang berpikir aku terlalu sombong. Padahal kenyataannya sih, aku sibuk sama diri sendiri aja kalau kondisinya lagi baik-baik aja. Kalau lagi enggak baik-baik aja, aku enggak kepikiran minta tolong orang lain. Lupa aja gitu kalau ak punya temen yang bisa aku mintain tolong.
Jadi sebelum corona, aku udah social distancing duluan guys! Hahaha.
Tapi sekarang udah enggak gitu, at least berubah lah dikit-dikit ya. Pan semua butuh waktu dan proses. Hehehe
Sekarang aku mulai bersyukur karena punya sisi avoidant yang walaupun dulu susahnya na’udzubillah buat di bongkar. Aku juga bersyukur untuk punya keinginan lebih empati. Walaupun kadang ‘menyiksa’, bikin pusing.
Sisi avoidant-ku kayanya bikin aku lebih aware sama kebutuhan diri sendiri yang juga harus di lihat secara utuh sebagai manusia saat aku lagi ingin belajar lebih empati sama orang lain. Walaupun harus mikir keras supaya bisa etis dalam memutuskan sikap.
But it’s okay. Aku menerima itu sebagai harga yang harus aku bayar untuk jadi manusia yang lebih dewasa. Uhuuy!
Baca juga, Catatan Belajar Tentang Hubungan Sosial yang Sehat
Saat sisi empati dan avoidant-ku lagi debat
Well, aku belajar beberapa hal untuk berhadapan dengan kondisi kaya gini.
Pertama, biasanya biar gak kecampur-campur dan jadinya gak jelas sikap apa yang perlu di ambil, aku perlu mengidentifikasi dorongan apa aja yang aku ingin lakukan buat nantinya di observasi. Kenapa sih inginnya itu, apa ada keinginan lain yang menahannya. Kenapa? Kalau terasa bertabrakan, maka di cari titik tengahnya dan berusaha deal dengan itu.
Kedua, aku memahami juga apa yang di pengenin sama orang lain (orang-orang yang terkait dengan casenya). Apakah ini berhubungan dengan tanggung jawabku? Sejauh apa?
Ketiga, aku perlu memisahkan mana sih hal-hal yang memang nyatanya lebih bisa aku kendalikan dan mana aja yang gak bisa aku kendaliin.
Itu cara supaya aku bisa menghadapi sisi ketakutan terlalu terlibat dalam relasi yang sifatnya emosional. Tapi juga ingin sebisa mungkin tetap terhubung sama orang lain (memvalidasi kondisi atau perasaan mereka). Aku lagi belajar untuk merasa gak ‘terganggu’ secara berlebihan dengan itu semua. I wanna have a better and healthy attachment style. Really.
Quote
Aku belum tahu, dimana kaitannya sama refleksiku di atas. Tapi ada quote bagus yang ingin aku kutip dari akun instagram Reza Gunawan (alm), seorang self healing teacher (alm. suaminya mbak Dee Lestari). Gini katanya :
“It’s okay not to be okay, as long as you know to be not okay. Otherwise, it’s not okay”
Reza Gunawan
Di captionnya Reza bilang kalau ini mantra yang sempat populer, tapi orang-orang lupa kalau ada prasyarat supaya mantra ini bisa bekerja. Apa prasyaratnya?
Kita boleh mengizinkan diri kita menderita , hanya selama kita tahu, siap dan terampil menderita. Reza menyebutnya seni menderita. Hehehe. Maybe we’re not familiar with that, but honestly I agree with it.
Hanya saja menurutku memang kita gak terbiasa, jadinya kita gak terampil. Jadi, gak papa juga kalau di awal kita kesulitan buat menderita. Dan akhirnya hal yang bikin kita susah itu makin bikin kita susah. Yang penting, kita sadar kalau kita perlu belajar seni menderita kali ya. Itu yang terpenting. Biar rasa sulit kita ini sesuai porsinya.
Oh, mungkin hubungannya itu dengan proses aku sekarang yang mutusin untuk ‘mendewasakan’ sisi avoidant dan emosionalku secara umum. Aku lagi belajar untuk menjadi lebih siap dan terampil menderita. Saat proses belajar ini kerasa bikin gak nyaman.
Semoga kalian yang juga lagi belajar mendewasakan diri lebih terampil menghadapi konsekwensi belajar ya. Tulisanku kali ini agak raw, karena memang lagi pengen mendeskripsikan proses pikiran aja. Thanks for reading all :)