Pengalaman (Mental) Mengatur Keuangan Setelah Lulus

Yulindann | Temen Mikir
5 min readMay 2, 2023

--

Photo by MD Duran on Unsplash

Setelah lulus kuliah ada beberapa proses yang aku hadapi secara mental. Salah satunya mulai kerasa bingung mengatur keuangan sendiri. Aslinya bukan cuma bingung, tapi kelimpungan!

Kali ini aku pengen cerita dari segi mental mengatur keuangan dan gimana cara menghadapinya waktu itu. Soalnya ada segi mental dari sudut yang lain, tapi tentang itu mungkin aku share lain waktu ya.

Pertama, Adalah Fase “Gak Tau Diri” — Ehehehe

Dulu, aku seringnya pake pola kumpulkan dan habiskan. Dikumpulkan dulu uangnya yang banyak, setelah itu di habiskan tanpa sisa. Jujur aja, sebelum sadar kalau mengatur keuangan dengan pola kumpulkan dan habiskan itu adalah dua hal yang berbeda, aku mikirnya aku tuh orang yang cukup jago soal mengelola uang. TAPI GAK (kalau kata temen-temen sekelas dulu).

Dari dulu aku terbiasa pegang uang sendiri. Ortu dua-duanya kerja, jadi sedari kecil terbiasa di kasih uang bekel yang dipegang sendiri, habis itu mikir juga sendiri untuk apa di pakenya.

Sesadarku aku jarang bahkan mungkin gak pernah merasa kekurangan (bukan berarti punya kehidupan finansial yang wah wih woh ya). Ini mungkin karena aku jarang punya kebiasaan membandingkan diri sama orang lain. Kalaupun pas aku sadar ada banyak orang yang kekurangan di luar sana, aku cuma kepikiran gimana caranya biar mereka gak begitu.

Aku sering bisa beli ini itu pake uang yang aku kumpulin sendiri dari uang jajan yang di kasih ortu. Dari situ aku menyimpulkan, “oh oke, aku orangnya bukan terlalu konsumtif kaya yang di bilang bapa. Karena aku gak nyusahin”, itu legitimasiku. Jadi aku melanjutkan pola itu.

See? ada yang aneh dari logika ini?

Nggak. Gak salah lagi. Ya jelas ada! Ehehehe

Terlalu konsumtif itu memang gak selalu nyusahin. Karena definisi terlalu konsumtif artinya bukan nyusahin. Tapi akupun belum “meng-amini” penilaian itu. Karena menurutku, gak salah juga kalau kita lebih memilih membeli barang yang berkualitas dan bermanfaat buat diri sendiri selagi ada uangnya dan gak ngerepotin ortu atau rewel maksa-maksa.

Oke kita skip dulu tentang penilaian terlalu konsumtif itu. Kita lanjutkan masalah “fase gak tau diri” yang mengantarkan aku ke kesadaran, kalau mengelola uang, dengan pola kumpulkan dan habiskan itu BERBEDA. Kok bisa begitu? Ini ada ceritanya..

Merenung dan Menerima Kalau Hidup itu Butuh Uang

Photo by Mathieu Stern on Unsplash

Waktu itu aku kelimpungan antara milih menghadapi masalah kebutuhan ekonomi keluarga dan beberapa masalah dialektika pribadi. Disisi lain aku juga punya keinginan karir (pengen lanjut kuliah~tapi belum jelas juga tuh apa yang di kejar selain curiousity).

Ditambah lagi, pada dasarnya aku gak terlalu berambisi nyari uang. Dulu mikirnya, ya secukupnya saja (buat diri sendiri dan keinginan yang bisa di kontrol lalu disesuaikan). Ditambah lagi, kenyataannya diri ini memang belum punya penghasilkan yang cukup, tapi kalau untuk jajan dikit-dikit ya ada (hasil jualan dan bantuin bapa di koperasi).

Menghadapi realita kalau uang itu kita butuhkan dan nilainya penting banget, rasanya berat buat nerima kalau hidup itu beneran butuh uang. Apalagi mikirin gimana caranya dapat uang. Uang yang bukan cuma buat di habisin untuk keinginan diri sendiri, tapi jadi alat buat menjaga diri dan berkarya menjalani hidup sesuai misi kita.

Mulai Sadar : “Your Money is your Responsibility”

Uang memang bukan segalanya, tapi banyak keputusan dalam hidup kita berhubungan dengan uang dan punya konsekwensi setelahnya. “Oke, baiklah. Mulai sekarang, harus lebih pinter” dalam hati.

Sudah di putuskan kalau uangku adalah tanggung jawabku (sebagian besarnya). Sebagai individu, sebagai masyarakat dan hamba Tuhan. Jadi uang bukan cuma soal ngumpulin dan ngabisin buat diri sendiri atau berbagi tapi gak jelas konsepnya.

Setelah ketar ketir melewati masa itu, aku mulai sadar berarti kalau mengelola uang itu harus ada tujuannya dulu. Tentunya tujuan yang bukan sekedar untuk menghabiskannya. Tapi untuk apa dan gimana cara membelanjakannya.

Alhamdulillah, beberapa bulan kemudian aku di terima di perusahaan IT dan mulai gajian. Pas udah dapat kerja, barulah mulai lebih mikirin tentang tujuan keuangan sambil menikmati hasil kerja yang ternyata tanpa di sadari balik lagi ke pola lama. Pola kumpulkan dan habiskan.

Ternyata masalah teknis mengelola keuangan juga gak kalah bikin kepala nyut-nyutan. Aku emang payah soal hal-hal teknis. Untuk masalah teknis, bukan masalah itung-itungannya sih. Tapi konsistensi dan ketahanan adminsitratif dalam keuangannya.

Misalnya masalah pengeluaran, bukan cuma nyatet rutinnya tapi pos uang apa yang di pake itu kacau semua. Dengan mudahnya “pinjem” pos ini tapi di pake buat itu (hal lain), keseringan beli junkfood lebih karena kepingin aja, alhasil…..!#@!$%

Tapi ini juga yang bikin aku lebih sadar sepenting apa kejelasan dari tujuan keuangan.

Ternyata Tujuan Keuangan Itu Penting dan Harus Jelas

Photo by Ricardo Arce on Unsplash

Abis rasanya petjah kepala karena pusing sendiri sama teknis baru sadar juga kalau ini masalahnya harus di runut dari tujuan keuangan. Tujuan keuangan prioritas itu harus dipikirkan lagi supaya jelas standartnya. Soalnya orang bisa bilang kalau ini dan itu adalah prioritas, tapi apa sebenarnya yang prioritas bagi kita kalau di hubungkan dengan kondisi-kondisi yang ada?

Dulu aku mungkin pernah terlalu jauh mikir ina ini dan jadinya takut-takut sendiri. Takut gak mampu. Selain itu, kalau tujuan keuangannya lebih jelas, kita bisa lebih cepet sadar dan mewaspadai pola-pola penggunaan uang kita yang lama dan kurang tepat.

Nah untuk menentukan prioritas soal keuangan, aku mulai dengan pertanyaan, “Apakah yang sekarang paling bahaya kalau gak kita siapkan?”

Ini karena asumsinya, aku berpikir dengan kaca mata “kehati-hatian” jadi bawaannya mencium, bau-bau bahaya. Dari mana ini berasal? Mungkin salah satunya karena dari segi keuangan, aku tahu kalau sekarang udah gak bisa lagi mengandalkan ortu.

Ternyata masalah teknis ngelola keuangan juga gak kalah bikin mual, tapi sekarang udah mulai lebih asik. Nah tentang masalah mengelola uang yang lebih teknis, kita lanjut di artikel lain ya.

Nanti Kita Sambung Lagi Ngomongin Uangnya…

Kayanya cerita pengalaman mengelola uang ini bukan cuma cocok buat adik-adik freshgraduate. Tapi mungkin boleh juga jadi temen mikir untuk temen-temen yang masih “shock” ngatur uang walaupun udah bertahun-tahun kerja. Mweheheh

Ya udah, itulah sedikit pengalaman dari segi mentalitas mengelola uang pasca lulus kuliah, siapa tahu bermanfaat. Nanti sambung lagi ngomongin uangnya ke part 2.

--

--

Yulindann | Temen Mikir
Yulindann | Temen Mikir

No responses yet