Mental Health : How I Cope With Stress

Yulindann | Temen Mikir
8 min readMay 12, 2023

--

Photo by Matthew Henry on Unsplash

Setiap orang pasti punya cara uniknya tersendiri untuk coping stress mereka. Dalam hidup stress itu memang di perlukan, tapi kalau terjadi terus menerus secara jangka panjang dan gak bisa kita kendalikan… aku fikir dampak negatifnya lambat laun akan kita rasakan terutama pada mental health.

Sesadarku, selama kita hidup jiwa akan selalu terhubung dengan raga. Jadi kalau ada apa-apa dengan jiwanya raga akan bereaksi, begitupun sebaliknya. Aku punya lambung yang super sensitif. Pernah suatu waktu “amblas” karena sakit maagnya yang tidak seperti biasanya. Jajan obat-obatan sampai di rawat di RS udah kaya rutinitas.

Dari sana juga sedikit demi sedikit aku mulai menyadari tentang diri sendiri lebih dalam. Khususnya gimana cara yang lebih sehat dan mampu aku lakukan saat itu untuk menghadapi situasi stress. Ternyata dalam keilmuwan, ini ada namanya yaitu coping mechanism.

Baiklah aku akan cerita “how I cope with stress. Tapi sebelum itu aku ingin cerita dulu sedikit pemahamanku tentang coping mechanism ini. Selamat membaca!

Apa itu Coping Mechanism?

Nah ternyata coping mechanism ini berbicara tentang segala cara yang kita lakukan saat menghadapi berbagai stimulus mengancam atau tertekan. Bisa macam-macam bentuknya tapi pada umumnya, coping mechanism ini di bagi menjadi 2 jenis strategi :

  • Strategi problems-based, yang intinya mengatasi sumber stressnya contoh kita stress karena banyak pekerjaan lalu cara kita coping adalah dengan menyelesaikannya berdasarkan prioritas dan kemampuan.
  • Strategi emotions-based, yaitu mengalihkan dulu fokus dan perhatian dari sumber masalah supaya si emosi lebih terkendali dan nantinya bisa berpikir jernih lagi.

Selain dari faktor genetik dan lingkungan, mental health (kesehatan mental) kita juga dipengaruhi oleh kemampuan coping stress. Jadi apa tujuan dari coping stress? Ya, untuk menjaga mental health kita.

The thing is..

  • The strategy that we choose has higher negative impact or not?
  • And then I think sometimes the same way doesn’t work

Karena memang ternyata tidak semua situasi kita bisa gunakan strategi problem based saja, atau emotions based saja. Kadang kita harus cerdas memainkan keduanya. Namun intinya sama, menjaga mental health supaya bisa menghadapi stimulus-stimulus lain dengan orientasi problem solving.

Tentang Defensive Mechanism

Semakin dewasa, aku makin sadar kalau kita perlu menjaga diri kita sendiri secara lebih sadar juga. Jadi dengan lebih menyadari adanya coping mechanism itu sendiri, aku merasa jadi lebih punya banyak pilihan dan kesempatan mengembangkannya someday.

Dulu aku cukup sadar kok, kalau shotcut-ku adalah junkfood dan jajan sembarangan. Ini karena dulu aku belum mampu mencari alternatif lain, yang penting aku bisa merasa lebih nyaman biar bisa berpikir lebih clear. Hanya sebatas itu.

Tapi ternyata coping mechanism itu lebih luas.

Ada coping yang sifatnya lebih sehat dan ada yang gak sehat. Termasuk defensive mechanism (denial gitulah). Ini adalah respon jiwa kita dalam tataran unconscious level yang cenderung gak sehat dan bisa membuat mental health kita terganggu. Tentu saja, aku juga pake cara ini secara gak sadar.

Tapi coping yang gak di sadari ini bisa sedikit demi sedikit di sadari kalau kita mencoba untuk ngajak ngobrol diri kita sendiri secara terus menerus (refleksi diri). Kalau kamu masih punya banyak pertanyaan terkait coping mechanisme ini, coba deh riset kecil-kecilan, asik banget!

Baiklah kali ini aku ingin share tentang gimana cara coping stress yang lebih sehat (mudah-mudahan) dan aku sadari sekarang!

1. Talk to Myself

Dari dulu, aku tipe orang yang suka ngomong sama diri. Tapi bukan kaya positive affirmation, yang begitu-begitu. Hehehe. Dulu aku gak begitu tertarik dengan hal-hal kaya gitu, aku pikir gak menyelesaikan masalah kadang cenderung kaya menipu diri sendiri, pikirku. Aku ngomong dengan diri sendiri dalam rangka hendak menyadari semua stimulus yang ada dan gimana kedudukannya sehingga aku harus mengambil tindakan seperti apa.

Tapi, sekarang beda setelah aku paham tentang fungsi dan konsep di balik ngomong sendiri dalam bentuk positive affirmation yang hubungannya dengan coping mechanism ini. Sekarang aku gak “alergi” dengan itu, asalkan aku benar-benar paham apa yang aku bicarakan. Gak asal, karna buat aku pribadi itu useless. Gak tau deh kalau yang lain.

Tapi karena aku juga seringkali pakai defense mechanism juga, jadi pembicaraan dengan diri juga gak melulu sesuai kenyataan. Karena aku lebih cenderung bermain dengan pemikiran, salah satu pintu defense mechanism ku adalah dengan cenderung men-generalisir atau rasionalisasi. Biar apa? Mungkin biar lebih merasa aman.

Ada juga di saat aku “maksa” untuk melihat masalah dengan apa adanya. And that’s true, it’s so mess up!

Ada kejadian dimana mental-ku yang belum kuat menerimanya dan aku belum tahu gimana cara mengelolanya. Nah menurutku mungkin disinilah kemampuan strategi coping emotional based ini di perlukan. Biar sedikit-demi sedikit, pikiran bisa di ajak untuk lebih tenang dan clear untuk memahami, menerima, dan mengambil hikmah. Ini yang sampai sekarang lagi aku latih.

Mungkin aku perlu belajar lebih peka saat kapan ngomong dengan diri sendiri ini memang bisa membuat aku bisa lebih sadar dan bijak menghadapi stress yang aku hadapi, saat kapan ini justru berujung “denial”, dan saat kapan butuh strategi emotional based. Oh ya dan juga juga batasannya. Ini jadi kaya lagi main games ya? Gimana kalau kamu, suka ngomong sendiri juga?

2. Sketching

Photo by ConvertKit on Unsplash

Pas lagi gak bisa ngomong sama diri sendiri, bener-bener stuck gitu aku biasnaya sketching. Dari kecil aku suka ngegambar, tapi gak bisa mewarnai. LOL.

Gambar apa? Apa aja bisa, inspirasi dari pinterest ataupun apa yang ada di dalam imajinasi dan rasaku saat itu, yang penting tanganku bergerak dan aku fokus melihat atau membayangkan sesuatu. Sketching ini membantu aku buat mengembalikan fokus pas terlalu suntuk dna akhirnya fokusnya meleber kemana-mana. Karena kalau lagi ngegambar aku bakal fokus memainkan pensil/pen, apalagi kalau gambarnya sebagian besar berasal dari imajinasi sendiri.

Buatku sketching ini mirip olahraga. Karena habis sketching, capek tapi ada rasa puas. Habis itu bisa istirahat lebih efektif dan pas bangun bisa lebih segar, otak pun lebih encer.

Baca juga : Decision Making : 5 Hal Tentang Pengambilan Keputusan

3. Write it!

Photo by Yannick Pulver on Unsplash

Cara kedua ini adalah cara yang di sarankan salah satu teman. Aku bukan tipe orang yang suka menulis buku diary untuk copyng stress. Karena memang gak bisa. Wkwkwk. Pada saat aku merasa stress, aku gak bisa ngomong ke “luar” apalagi ke orang lain. Gak kepikiran aja.

Nah ternyata, menulis juga bisa jadi coping stress yang lumayan efektif. Gak perlu nulis yang sistematis dan rigid karena bukan lagi nulis skripsi. Jadi awal kali, nulis ini bagiku mirip sketching. Blem, satu kata doang.

4. Distraction

Photo by Park Troopers on Unsplash

Akhir-akhir ini aku baru sadar tentang pentingnya distraction dalam rutinitasku. Aku memang merasa lebih sehat secara psikis berada dalam nature freelancer. Tapi bukan berarti aku bisa terus-terusan bekerja tanpa distraksi.

Dulu aku menganggap distraksi saat aku bekerja/ belajar itu adalah gangguan aja. Karena kalau lagi konsektrasi dan akhirnya harus terjeda, itu rasanya kesel harus mulai konsentrasi lagi dari awal. Jadi aku lebih suka berjam-jam, seharian, atau berminggu-minggu mengerjakan suatu hal. Baru setelah selesai aku keluar “goa”. So multitasking is not my thing. Defenitely.

Sebenarnya itu juga bukan hal yang harus di hentikan tapi mungkin aku perlu lebih cerdas mengelola energi kreatif dan disiplin yang ternyata bisa lewat merubah sudut pandangku tentang distraksi. Karena nyatanya selain pekerjaan yang lagi aku kerjakan, ada semesta lain yang perlu aku perhatikan disaat yang bersamaan. Tubuhku, mentalku, lingkungan dan terkadang juga orang lain.

Sekarang, pemikiranku tentang distraksi udah mulai berubah. Justru aku butuh distraksi supaya tetap berjalan. Sebenarnya sketching, makan enak, masak, tidur, yoga, dll itu adalah distraksi. Tapi poinnya disini adalah perubahan pandanganku tentang distraksi bisa bikin aku lebih bisa ngelola energi disiplinku

Selain itu yang ingin aku ceritakan pada poin ini adalah distraksi yang bentuknya adalah pekerjaan. Karena aku point of view-ku mulai berubah karena ini. Jadi sebenarnya masih butuh untuk menghasilkan di main job freelancerku (content writer). Cuma kenyataannya aku perlu menerima kalau aku juga punya batas-batas, batas mental terutama.

Ternyata pekerjaan lain (yang berbeda) di luar main job adalah distraksi yang win-win solution. Aku tetap bisa menghasilkan, dan main jo tetap bisa berjalan. Tapi syaratnya job tersebut memang harus aku sukai/minati. Nah intinya adalah ternyata distraksi yang tepat dan di lakukan pada saat yang juga pas itu penting untuk bikin kita tetap bisa “berjalan”.

5. Ngomong ke Orang

Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash

Dulu aku jarang banget kepikiran untuk bicara ke orang pas lagi stress. Ya gak kepikiran aja dan memang gak ada orang yang terpikirkan untuk bicara.

Tapi pas udah mulai terpikirpun, aku mikir kalau “everyone has their own burden, so why I have to share it with other?”

Jadi kayanya aku gak perlu ngomong ke orang. Toh, aku juga biasanya bisa menyelesaikan masalah sendiri. Tapi, ini berubah sejak aku paham bahwa bicara ke orang yang tepat dengan cara kita sendiri itu juga bisa jadi solusi yang lebih canggih buat melewati stress. Fungsinya adalah seperti mirroring, digging atau juga cuma ngebuka tutup panci yang udah terlalu beruap.

Strategi ini juga gak merubah sisi aku yang cenderung independen atau malah jadi needy, cuma sikapku lebih terbuka jika seandainya opsi ngomong sama orang ini di perlukan. Karena gak terbiasa, aku mulai curhat tipis-tipis kalau lagi diskusi. Nah sekarang, kadang aku juga curhat dan berdiskusi atau cuma ngomong aja gak pake diskusi saat itu.

Masalahnya lagi, kadang aku ngerasa gak ada orang bisa aku ajak bicara tentang ini.

Tapi aku mulai berpikir, bukannya gak ada orang tapi ekspektasiku yang belum sesuai kedudukannya. Saat ini gak ada orang “khusus” untuk di ajak bicara memang, karena ya memang belum nemu aja. Tapi orang-orang baik dan yang masih se-frekuensi di sekitarku sekarang aku sangat syukuri keberadaannya. Dan kadang, gak masalah kok sesekali minta untuk di dengarkan. Asalkan kitapun tulus berteman sama mereka.

Baiklah itu ceritaku tentang “How I cope with stress” yang sampai sekarang masih aku pelajari. Mungkin dari kalian ada yang berbeda? Bisa comment di bawah.

--

--

Yulindann | Temen Mikir
Yulindann | Temen Mikir

No responses yet