How I (try to) Find The Real Problem in My Life
Di buku yang aku tulis, It Is What It Is, ada part dimana aku bilang, “kalau aku bisa bertemu dengan diri sendiri di masa lalu, aku pengen nyuruh dia belajar mengidentifikasi masalah dengan tepat (real problem)”.
Soalnya entah jadi kutukan atau kelebihan, jiwa dan otak ini dari dulu suka banget memaknai. Sebelum memaknai, biasanya aku menemukan ‘masalah’ terlebih dulu. Nah berkaitan dengan ini, kemampuan memahami mana yang beneran masalah (real problem) sangat di butuhkan untuk mencegah komplikasi masalah yang gak diperlukan.
Cerita dikit, dulu aku melihat kalau aku itu mirip kaya problem detector! Kalau ada sesuatu yang ‘aneh’ aku seperti bisa ‘merasakannya’. Is it an intuition? Hmm, I don’t know!
Tapi ini gak cuma satu! Kadang datangnya kaya menyerbu. You know what I am saying guys? (semoga ya..>.<)
Masalahnya…
Menurutku, pola ini adalah salah satu faktor yang mempengaruhi anxious system-ku jadi lebih sensitif. Dan akhirnya beberapa waktu lalu sempat harus konsultasi rutin ke psikiater dan psikolog karena sudah mengganggu kemampuanku untuk tidur dengan baik.
Kalau cuma praduga aja, masih gapapa kali ya. Tapi kalau pada akhirnya hampir selalu bikin njelimet dan overwhelming? Nah ini yang ngefek ke banyak hal!
Karena nyatanya kalau aku amati lagi, dari kecemasan-kecemasan yang aku rasain, memang ada masalah benerannya (real problem) tapi juga ada yang cuma skenario/ drama yang aku buat sendiri dipikiran. :p
Kali ini aku ingin nyoba sharing tentang gimana caraku nge-treat this brain and soul biar terbiasa mengenali the real problem.
Kebiasaan kita dalam merespon sesuatu udah lama terbentuk. Selama ini aku keseringan mencari apa yang aku tujudalam hidup. Aku merasa, kini saatnya lebih fokus mengupayakan. I know, it’s not going to be easy.
But…Ok. Stop talking. Just do it!
1. Memaparkan Pikiran dan Perasaan
Proses 1 dan 2 ini bisa di balik. Atau malah di hilangkan salah satunya. Tergantung kebutuhan kita. Biasanya kita butuh memaparkan pikiran dan perasaan dulu ketika itu njelimet. Kalau aku dengan journaling (ditulis).
Aku tahu, bagi sebagian orang mungkin gak biasa bikin journal, jadi mungkin bisa dengan merekam suara kita sendiri, atau cara lainnya yang intinya adalah pemaparan (deskripsi). Atau bahkan ada juga yang gak bisa mendeskripsikan sesuatu?
Gapapa, proses ini emang sulit di awal bahkan bagi yang terbiasa kadang malah butuh stimulasi luar untuk bisa mendeskripsiin.
Gapapa juga tulisannya gak rapi, ngomongnya kesana kemari, memang tujuannya bukan kaya bikin skripsi kok. Hanya memaparkan.
Proses ini menurutku lumayan berguna untuk kasih ruang nafas kalau kepala terasa riuh dan penuh. Lama-lama kalau terbiasa, pas kita deskripsiin itu jadi kaya sambil menganalisa.
2. Buat Jadi Pointer
Langkah kedua/ kesatu (bisa di balik), biasanya aku bikin pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan itu jadi pointer. Ini proses mengekstrak dan hipotesa dari deskripsi yang kita paparkan itu apa sih intinya.
Atau dari pointer, bisa di pertanyakan lagi apa maksudnya lewat deskripsi.
See?
Proses ini bisa di balik-balik. Terserah yang mana duluan. Yang penting tujuannya adalah mengekstrak dan memperjelas sebenarnya apa yang lagi kita pikirin.
3. Kasih Jeda
Sekarang diamkan dulu tulisan/ rekaman itu. Kasih jeda. Waktunya tergantung yang kita perluin. Pengalamanku, bisa 10 menit, 2 jam, stengah hari, atau malah berhari-hari. Gak masalah.
Tapi susah untuk kasih jeda, pengennya langsung gaskeuun.
Hmm.. aku ngerasa jeda ini lumayan penting biar pikiran kita agak fresh pas balik lagi untuk lihat apa yang kita tulisin atau ucapkan (di rekaman).
Ada beberapa kalimat yang lumayan sering aku bilang dalam hati. Kadang itu jadi mantra ajaib yang bisa membantu aku ngatasi situasi overwhelming/ terlalu emosional:
- “Oke, aku tau gak semua yang aku pikirkan itu benar. Tapi aku lagi marah/ sedih/ kecewa banget sekarang”
- “Aku tahu ini gak akan selamanya kok. Tapi saat ini aku lagi gak bisa melihat hal positif lainnya”
- “Sing kuat, sing waras” (mantaranya mengingatkan kita ke film kuntilanak yaa.. haha)
4. Bikin Komitmen Sama Diri Sendiri
Bahwa kita hanya menerima fakta bukan asumsi saja. Ini fungsinya biar saat kita mulai berasumsi aja, kita bisa lebih mudah menahan diri dan kembali untuk memaknai berdasarkan fakta dan logika.
Selain itu, komitmen ini juga bisa berfungsi biar dalam pengambilan keputusan nanti. Karena dasarnya cuma menerima fakata dan bukan asumsi aja, maka kita bisa mengarahkan diri kita menuju fakta ‘baru’ yang kita pahami. Memang gak gampang, kadang kita juga malah balik lagi ke asumsi sebelumnya kalau ada trigger. Tapi gapapa, terus aja di ulang prosesnya.
Banyakain fakta pembanding. It’ll work at your pace.
5. Memahami Kecemasan dengan Compassion
Belakangan aku mulai menyadari, ternyata aku sering menganggap kecemasanku mirip kaya monster. Aku menganggapnya musuh, makanya kalau lagi kumat, aku hindari bahkan kaya harus diperangi.
Tapi setelah self-love ku mulai tumbuh, aku melihatnya dengan cara yang agak berbeda. Aku memberikan ruang pengamatan yang lebih lapang untuknya. Memahami apa yang coba ingin di ‘sampaikan’ lewat sesuatu mirip alarm kebakaran itu.
Karena begitu, aku jadi bisa ngobrol dengannya tentang sebenarnya apa yang menurutnya berbahaya. This is a clue, isn’t?
Kalau udah tahu, baru deh bisa mulai kita cek dengan kondisi realnya. Lalu perlahan kita ajak hal yang menurutnya berbahaya tersebut untuk berproses bersama (nyambung ke komitmen diri lagi, kita paham kenyataannya gimana dan baiknya gimana).
Ini contoh ya!
Aku sadar kalau : “aku takut sama orang, soalnya mereka itu unpredictable (tiba-tiba marah dan tiba-tiba jahat”
Aku bilang : “oh iya ya, dulu pernah ngalami hal itu. Pantes aja takut. Sekarang aku terima ya alarm ini, nanti aku bakal hati-hati menghadapi orang. Tapi kamu (aku) juga harus dengerin aku ya. Sekarang aku udah dewasa, aku punya kemampuan berpikir dan berkomunikasi untuk cari tahu kenapa orang bisa marah dan jahat. Kadang memang karena sikap kita tapi enggak semuanya karena kita kok. Kamu juga harus tahu kalau ada hal-hal yang di luar kontrol, dan memang begitu adanya. Jadi gapapa. Apa yang paling bisa kita lakukan untuk membuat kondisi sedikit lebih baik, maka lakukan aja itu. Ok?”
6. Pertanyakan Ekspektasi
Yang kita sebut sebagai masalah itu umumnya adalah kenyataan yang gak sesuai dengan ekspektasi. Karena dasarnya adalah ekspektasi, aku mulai ngulik dari sana :
- Apa ekspektasi yang sebenarnya dan gimana kenyataannya?
- Apa ekspektasinya udah realistis?
Aku pribadi mendasarkan realistis itu pada : apa yang sudah aku lakukan dan belum untuk mewujudkannya, apa hal yang sudah pasti dan gak bisa di ubah juga sebaliknya, hal-hal yang masih dalam dan di luar kontrol.
beberapa hal biasanya coba aku lakukan :
- Mind mapping (tulis alur pemikiran dan perasaan kita)
- Memahami realita dari apa yang kita cemaskan
- Apa yang bisa kita lakukan (kadang kalau masalahnya gak real biasanya kita terobsesi dengan memunculkan solusi yang juga ngawang dan gak realistis)
Misalnya :
Aku sadar kalau : “ aku takut mati”
Yang aku pertanyakan :
- Mungkinkah gak mati? Gak mungkin! ciptaan yang hidup pasti mati.
- Emang kenapa takut mati? Misalnya : karena merasa belum banyak yang dilakukan biar bisa bermanfaat bagi diri dan masyarakat
- Jadi, matinya atau mengupayakan untuk bermanfaat yang bisa di upayakan? bermanfaatnya!
- Sekarang gimana kondisinya? Memang belum bisa banyak bermanfaat.
- Itu masalahnya. Maka upayakan jadi bermanfaat!
Nah inilah proses yang agak susah. Kadang aku gak bisa melakukannya sendiri. Karena somehow, kaya ada awan hitam yang gak tertembus aja gitu. Jadi bikin pandangan berkabut gak jelas dan stuck.
7. Meminta Pertolongan
Tadi pagi pas dengerin podcast tentang mental health, aku dapat info kalau ada terapi semacam ini juga bisa di lakukan oleh psikiater/ psikolog. Mungkin metodenya ada kesamaan atau malah beda. Aku kurang paham karena pas konsul kemarin aku gak mendapatkan terapi ini. Tapi langsung pakai obat dan diskusi saja beberapa kali.
Cara-cara ini cuma aku rangkumkan dan ternyata caranya berkembang seiring pengetahuanku tentang mental health mulai bertambah. Jadi kalau kalian merasa kesulitan latihan sendiri dan butuh bantuan, coba deh konsultasi ke orang yang di anggap ahli ya (psikolog/ therapist/ coach).
Masih PR…
Gimana ya cara lainnya biar bisa mempertebal kemampuan kita dalam memahami the real problem?Sekarang menurutku, orang yang dari dalamnya happy (puas, meaningful, mindful dengan hidupnya) tuh biasanya lebih jernih dalam berpikir. Should we improve our happiness? Hmmm…
Btw, apa kalian punya cara yang berbeda untuk memeahmi the real problem? Boleh share lewat dm instagram ku ya!