How I Stop Perfectionism Ruining My Life

Yulindann | Temen Mikir
5 min readDec 15, 2023

--

Photo by Brett Jordan on Unsplash

Apa salahnya kalau kita ingin melakukan yang terbaik? But I was like, there’s something wrong when my perfectionism start ruining my life!

The thing is… What do I mean by.. “the best”? What is the purpose of feeding my perfectionism? To get the best result? To get the best process? Or what?

Isu perfectionism (yang malah cenderung merusak hidup), jadi salah satu topik yang pengen aku bongkar. Sebabnya aku juga punya sisi perfectionis yang cukup kuat dan kadang itu malah bikin aku terus merasa stuck!

Aku jadi bertanya-tanya, dari mana ya asalnya? Aku sendiri gak tau, sadar-sadar kok ya sudah begini? :’)

Perfectionist itu baik atau buruk sih?

Sebelum merujuk ke pendapat referensi, aku ingin share dulu opini pribadiku tentang perfectionis ini.

Dalam pandanganku, perfectionism itu identik dengan sikap seseorang yang punya standart tinggi tentang suatu hal dan memperjuangkan kesempurnaan (biasanya berorientasi pada hasil).

Setiap orang punya sisi perfeksionisnya masing-masing. Entah itu spesifik pada hal-hal tertentu aja, atau mungkin juga perfeksionis hampir secara general. Salah satu sisi perfeksionis ku muncul pada saat memahami sesuatu yang pengen banget aku tahu.

Aku punya standart tinggi untuk memahami dengan tepat atas realitas yang lagi di amati. Aku tahan berlama-lama mikirin ‘satu hal yang itu-itu saja’.

Makanya wajar kalau kadang orang-orang ngeliat aku sebagai orang yang ‘terlalu banyak berpikir’/ lambat, kadang linglung (karena gak sadar sama sekitar) bahkan keras kepala.

Perfectionism menjanjikan kesempurnaan, keberhasilan dan hal-hal yang membuat kita merasa powerful.

Tapi disisi lain karena perfectiosm ini jugalah, aku mulai menerima konsekwensi gak nyaman dan itu cukup mengusikku. Hal-hal itu adalah :

  • Aku jadi mudah cemas, serba takut memilih, takut salah, pokoknya takut sama hal-hal yang enggak nyaman yang mungkin (mungkin loh ya) akan di hadapi
  • Suka nunda-nunda (procastinating) parah yang pada akhirnya sering gak kemana-mana
  • Jadi insecure karena mulai membandingkan dengan pencapaian orang lain sedangkan akunya ngerasa gak kemana-mana arena
  • Semakin rendah diri karena ragu sama kemampuan dan gak tau kapasitas
  • Sulit menghadapi konsekwensi dari sebuah proses
  • Aku gak belajar apa-apa, terlebih menghadapi apa yang aku takutkan (minimal memastikan apakah ketakutan tersebut memang nyata atau overthinking-nya aku)

Karena itu aku sempat melempar pertanyaan : apakah perfeksionis itu buruk?

Kalau gitu, apakah aku harus menurunkan standart? Jadi punya standart rendah, enggak boleh punya harapan tinggi, dan males-malesan? Tapi masa kaya gitu ya? Wkwkwk

Yang aku pahami, kenyataannya memang manusia itu pada dasarnya punya keinginan untuk menuju dan menggapai hal yang lebih baik. Jadi sebenarnya ini gak bertentangan dengan sikap perfectionism. Dengan dorongan semacam ini secara teori harusnya bikin kita jadi berjuang mencari solusi, cara dan semacamnya. Cuma kadar dan objek yang di perfeksioniskan setiap orang bisa berbeda.

So, masalahnya ada dimana?

Standart.

Inilah yang sepertinya menimbulkan over perfectionism itu terjadi. Standart tinggi yang dorongannya di dasari karena takut jadi salah, dinilai dan sejenisnya. Intinya kita insecure atau ngerasa gak aman. Karena dorongan itu saja yang menguasai makanya standarnya jadi ngeblur dan gak realistis.

Padahal di dunia nyata ini, seringkali kita harus punya pemikiran dan aksi yang beneran bisa di lakukan. Ada tangga-tangga yang harus di tapaki jika standart kita memang tinggi. Maka dari itu, aku pikir : punya standart tinggi + ngukur variabel + legowo + mindset pembelajar adalah satu paket biar perfectionisnya tetap sehat.

Menurut Sumber Lain, Apa itu Perfectionist?

Nah, setelah aku menjelajah ke beberapa sumber perfectionism itu intinya sama kaya yang aku sampaikan. Tapi menurut D.E. Hamachek, perfectionist itu di bagi dua :

1. Healthy Perfectionist

Mereka yang punya standart tinggi tapi masih realistis

2. Neurotic / Maladaptif Perfectionist

Mereka cuma pasangan standart tinggi tapi gak realistis

Nah ternyata jenis perfeksionis yang kedua (maladaptif perfectionist) inilah yang bisa merusak hidup. Karena kalau perfeksionisnya masih sehat, cirinya mereka fokus menjadi versi terbaik dari dirinya. Bukan terbaik dari semua orang in every universe hehehe.

Lalu apa sebabnya orang punya kepribadian perfeksionis?

Katanya Matt Plummer (CEO perusahaan online coaching), perfectionism itu sumbernya berasal dari rasa insecure akan sesuatu yang dianggap mengancam dan juga keinginan diterima semua orang.

Selain itu kalau di usut lagi ke masa kanak-kanak, American Academy of Pediatrics (AAP) mengungkapkan kalau kepribadian perfectionist bisa di sebabkan karena :

  • Tekanan akademis : ortu menekan anak berprestasi dan masuk sekolah terbaik
  • Interpretasi yang kurang tepat atas sensasi sukses dan gagal : anak merasa berharga hanya ketika sukses
  • Gak paham perbedaan pekerja keras dan perfectionist : pekerja keras ingin hasil terbaik tapi tidak takut gagal
  • Menerapkan profesionalisme kerja terlalu dini : ortu menerapkan prinsip efisiensi, produktifitas dan performa kerja dengan ketat pada kehidupan pribadi anak

Tapi kembali lagi ke definisi perfectionist itu sendiri sebenarnya bisa berdampak baik. Jadi mungkin kalau di lihat dari sudut pandang AAP, parents bisa nambal apa yang kurang biar perfectionistnya tetap sehat. Misalnya ngasih pengertian tentang tujuan belajar di sekolah, memberikan kesempatan untuk gagal dan bantu melewati dan memaknainya dll.

Caraku Untuk Menghentikan (Maladaptif) Perfectionism

Seperti yang aku bilang sebelumnya, aku pun punya sisi perfectionism yang gak sehat (maladaptif). Gini caraku belajar untuk menghentikannya!

1. Menyadari Apa Motivasi di Balik Hal yang kita Tuju

Menurutku penting menyadari motivasi yang lebih dominan sewaktu aku melakukan sesuatu yang melibatkan sisi perfeksionisku. Dengan menyadari apa yang jadi kecemasanku misalnya, aku jadi kaya lebih siap berevaluasi.

Misalnya aja, aku lagi ngerjain suatu proyek. Salah satu motivasi utamaku adalah biar client percaya atas karya dan kinerjaku lalu lanjut kerjasama. Aku suka bertanya lagi dalam hati, benarkah bukan karena anti di kritik? Benarkah bukan karena anti gagal?

(Takut di kritik dan gagal itu wajar karena emang rasanya gak enak, tapi beda sama ANTI)

Dari kesadaran ini, lebih mudah aku memilah pikiran dengan pola pikir di poin kedua.

2. Belajar Berpikir Realistis

Teknisnya, aku harus kenalan sama diri sendiri (kalau ini berkaitan dengan diri sendiri ya). Kalau berkaitan dengan harapan atau ekpektasi ke luar maka kenali dulu doi. Tujuannya adalah untuk bisa ngukur kapasitas.

Lalu pahami variable lainnya yang berpengaruh. Salah satu cara berpikir yang sangat membantu aku adalah dengan mengidentifikasi mana hal yang bisa aku mungkin aku kendalikan dan mana yang sulit aku kendalikan. Mirip stoicism.

Dengan begitu aku bisa lebih mudah menerima kalau seandainya ada hal yang sesuai atau malah jauh dari ekpektasi. Lalu jadiin itu sebagai pelajaran.

3. Baby Step is More Important Than Perfection!

Yes, baby step is the key!

Nyesel juga kenapa enggak sadar hal ini sedari dulu. Tapi emang untuk sampai ke mindset yang berkaitan dengan aksi, aku harus memperbaiki dulu pandangan-pandangan yang kurang tepat. Misalnya tentang kesempurnaan, self image dll.

Tanpa baby step ini, rasanya gak akan mungkin aku nulis blog, konten medsos, bahkan buku pertama! Baby step adalah hasil dari penerapan pola pikir realistis. Gak masalah punya standart tinggi, asal mau menjalani dan belajar menikmati prosesnya langkah demi langkah.

Tapi meski kesannya lambat, aku tetep happy bisa sampai di mindset ini dengan proses yang logis dan manusiawi (sesuai apa yang aku butuhkan) gak asal caplok mindset. Aku juga menulis opini dan cerita yang berkaitan dengan hal ini di buku pertamaku yang judulnya It Is What It Is. Yuk kamu juga bisa!

4. Pake Mindset ‘Pebisnis’

Harus untung apapun yang terjadi. Hehehe. Meski keluargaku kebanyakan PNS, tapi aku bersyukur ternyata punya punya bibit-bibit ‘pebisnis’ (pola pikirnya).

Artinya, meski hasil gak sesuai ekspektasi, harus ada hal lain yang aku dapatkan (harus tetap ada untungnya). Dengan mindset ini, aku bisa lebih dealing sama yang namanya kritik. Sakitnya di kritik jadi kaya digigit semut karena ketutupin sama rasa nikmat dan puas menyadari pembelajaran baru.

Itu dulu yang bisa aku bagikan,

Belajar bareng jadi healthy perfectionist yuk! Lanjut diskusi di kolom komentar atau instagram :D

--

--

Yulindann | Temen Mikir
Yulindann | Temen Mikir

No responses yet