Cinta Butuh Logika

Yulindann | Temen Mikir
4 min readAug 1, 2023

--

Photo by Kelly Sikkema on Unsplash

“Cinta ini kadang-kadang tak ada logika”.

Gitu katanya lagu yang pernah di bawain Agnes Mo. Ada juga yang pernah bilang, “Gak semuanya harus pakai logika (maksudnya cinta)”.

Tapi tanpa logika, aku jadi bingung dan jadi malah tambah gak bisa paham loh. Aku merasa relationship adalah wilayah yang ada di luar kapasitasku. So tricky & confusing.

Jadi, ngapain masuk ke dalamnya kalau itu cuma menguras energi? Lebih baik gak deh, makasih.

Ini aku yang dulu, tapi sekarang udah berubah pikiran.

Gini ceritanya…

Aku pernah cukup heran, kenapa orang-orang mau menjalin relationship dan terkesan berlomba untuk menikah? Katanya menikah itu sebuah long-term relationship. Tapi kenyataan banyak banget pasangan yang baru menikah 1–3 tahun (bahkan ada yang baru beberapa bulan), mengalami perceraian baik psikis atau fisik.

Akibatnya lumayan sistemik, bukan cuma dirasain berdua tapi gak jarang anak juga jadi korban. Anak yang kelahirannya aja bukan dia yang menentukan malah kena imbas. Mulai dari kondisi psikis yang terganggu, bahkan sampai penelantaran.

Nontonin berita-berita dan youtube yang ngundang para ahli bicara tentang kasus-kasus kaya gini di usia dewasa awal memang bikin pikiran susah istirahat. Belum lagi kalau membayangkan dari sudut pandang efek yang lebih luas yaitu pembangunan negara, beuh. Itu bukannya sama aja contributing build a hell?

Walaupun pandanganku tentang pernikahan lumayan suram, menurutku ada baiknya kita masih menganggap pernikahan adalah opsi. Kenapa?

Karena yang kita bahas di atas adalah the dark side, kita belum tahu sisi lainnya bukan? Lebih bijak lagi kalau kita fokus cari tahu sebabnya. Kok bisa ya ada pernikahan yang sesuram itu?

Selain itu, mungkin bagi sebagian dari kita juga gak bisa bohong kalau kadang kita juga udah mulai ngerasa cemas. Karena kalau keputusannya adalah gak menikah, mungkin ini bertentangan sama pendapat masyarakat dan juga keluarga. Ini akan menyebabkan konflik emosional yang pastinya gak enak banget.

Sama dengan sebagian dari kalian, aku pun pernah mencoba nyari jawabannya. Pertama-tama, aku melakukan eksperimen kecil.

Baca juga deh, Catatan Belajar Tentang Hubungan Sosial yang Sehat

Karena merasa sulit memahami cinta dengan cara lama dan gak puas dengan jawaban yang ada, suatu waktu aku menjalin hubungan sama seseorang. Dalam relationship itu aku meragukan caraku memahami cinta.

Singkat cerita kita pacaran dan aku mengabaikan “keanehan-keanehan” yang terjadi saat itu. Tebak apa yang terjadi?

Right, chaos! Pada akhirnya aku putus dengan dia dan luka yang aku dapetin dari pengalaman itu cukup membekas sampai 3 tahun gak bisa move on. Dipikir-pikir kok bisa ya?

Tapi gapapa, dari sana aku mulai belajar kalau cinta memang tetap butuh logika. Karena terbukti, cinta tanpa logika itu menyengsarakan. Apalagi kalau di bawa ke pernikahan, yang notabene adalah long-term relationship dan nantinya seringkali akan melibatkan kehidupan manusia lain yang namanya anak. Jangan berani-berani deh, cinta-cintaan gak pake logika.

Sekarang menurutku, cinta itu lebih mirip action. Action untuk berusaha membangun dan menjaga kepercayaan, mutual respect, komunikasi yang sehat, mungkin juga berjuang mengelola trigger atau kecemasan, dan tentunya memilih tetap bersama meski keadaan lagi sulit-sulitnya.

Kalau dipikir-pikir, mungkin maksud mereka yang bilang gak semuanya harus pake logika, itu maksudnya kurang uwu-uwunya kali ya. Karena ke uwuan bisa jadi salah satu perekat hubungan biar lebih intim. Tapi setiap orang punya ekspresi uwu yang berbeda, jadi gimana dong?

Berarti solusinya mungkin kudu improve dari caraku merasa. Ini yang butuh di latih, biar lebih peka, paham dan akhirnya bahasa cinta nyampe ke pasangan dengan baik. Tapi ini juga tetap butuh logika kan?

Selain itu, untuk menjalin long-tem relationship sama seseorang artinya kita bakal butuh menyediakan kapasitas untuk memahami, memaklumi dan kerendahan hati untuk belajar. Kita juga butuh tahu batasnya atau boundaries supaya relasi yang di jalin itu sehat. Karena nyatanya menikah memang bukan perkara uwu-uwuan aja.

Nah ini semua bakal sulit di lakukan dalam jangka panjang kalau gak ada cinta. Sementara cinta sendiri gak tumbuh begitu aja. Ada prosesnya, mulai dari mengenal, validasi, dan akhirnya mau komitmen. Ini juga butuh logika kan?

Banyak orang yang lebih senior dan dinilai cukup berhasil dalam pernikahannya bilang kalau pernikahan itu lebih dari 50%-nya adalah ngobrol. Kalau pernikahan itu banyak ngobrolnya maka mungkin minimal calon nyambung kalau di ajak ngobrol.

Well, terlepas pendapat ini valid atau enggak tapi dari sini kita paham clue penting, khususnya tentang kriteria calon pasangan. Kira-kira orang kaya gimana sih yang bisa jadi teman hidup kita dalam jangka panjang?

Jadi dari sejuta kriteria yang kita list, pada akhirnya kita perlu menentukan mana kriteria yang wajib ada di pasangan kita dan mana yang sunnah (bonus). Nobody is perfect. Kelebihan pasangan kita udah sepaket sama kelemahannya.

Dalam menentukan kriteria butuh mengamati dan menilai. This why, love need logic.

Kenyataan lain, cinta itu bisa naik turun dan bahkan menghilang. Makanya butuh usaha. Harus di rawat. Gimana cara merawat yang efektif? Kita juga butuh logika.

Jadi menikah memang butuh cinta. Tapi cinta butuh logika biar gak terjebak di neraka romansa.

--

--

Yulindann | Temen Mikir
Yulindann | Temen Mikir

No responses yet