2 Things That I Learned While Growing Up

Yulindann | Temen Mikir
4 min readJan 5, 2024

--

Photo by Kyle Glenn on Unsplash

Hai semua. Maaf aku skip dulu untuk lanjutin tulisanku sebelumnya, Being Present: Manfaat, Hambatan, Caranya (Part 1)ke part 2. Ini karena aku lagi butuh banget memperjelas hal-hal yang akan aku tulis di bawah ini. As you know, writing helps me to create my mind clearer and it’s like highlighting what I realized (while growing up). Hehehe.

Jadi kalau kalian merasa gak relate dengan beberapa hal yang aku tulis kali ini bisa skip aja yaa.

Baiklah aku akan mulai tentang…

1. Self Awareness is Something I Can Learn

It’s a super important skill. Self-awareness adalah modal awal, untuk menghadapi banyak hal yang akan kita temukan dalam hidup. Setelah aku mengenal istilah mindfulness, aku rasa self-awareness adalah bagian dasar dari mindfulness yang penting banget di usahakan terlebih dahulu.

Kita perlu mindful dalam menjalani hidup sehari-hari, waktu menghadapi masalah, saat konflik. Tapi kalau itu semua masih sulit dan terlalu jauh, maka menurutku self-awareness bisa jadi titik startnya. Diri sendiri adalah objek paling dekat dan lebih dalam jangkauan untuk di kendaliin.

Self-awareness (kesadaran tentang diri sendiri bentuknya dasarnya adalah kemampuan mengamati tentang apa yang kita pikirin dan rasain. Kalau udah melibatkan ilmu terkait, kita juga mengamati dan sadar tentang kelebihan atau kekurangan diri, tentang proses yang sedang di jalani dan arahnya.

Jadi, self-awareness gak tumbuh begitu aja. Butuh waktu, energi dan tentunya ilmu yang mengiringi.

One more!

Self-awareness brings us to know the meaning of self-love and begin to love yourself. It’s obviously different with selfish,tapi kalau udah ketemu kasus spesifik yang mengujinya, buatku pribadi memang perlu extra effort untuk bisa menilai.

Bisa jadi itu karena aku yang memang belum terlatih (cuma sekedar tahu), kasusnya yang masih terlalu sulit untuk level belajarku saat ini, atau alam bawah sadar yang belum singkron/ menghalangi.

Kalau buatku dulu, aku lebih mudah mengamati apa yang aku pikirin dibanding apa yang aku rasain. Hahaha. Itu ada sebabnya. Yang sudah baca buku It Is What It is, mungkin bisa tahu.

So, it’s true. Tingkat kesulitan untuk punya self-awareness bisa berbeda-beda tiap orang bahkan untuk anak introvert. Gapapa, memang ada hal-hal yang gak bisa kita pilih di masa lalu tapi kita bisa milih respon kita saat ini.

2. Being Kind and Smart In The Same Time

“I have known nothing about people”. Itu adalah kenyataan pahit yang harus aku terima. Pas self-love ku udah mulai bertumbuh di level tertentu aku jadi bisa mengarahkan perhatian dengan lebih sadar ke orang lain. Aku pengen lebih mampu ‘berempati’, niatnya. Itu salah satu clue biar aku bisa menilai lebih objektif dan wise, menurutku waktu itu.

Tapi gak tau kenapa lama-lama niat ini jadi bergeser jadi belajar empati hanya biar gak menyakiti dan supaya membuat orang lain merasa nyaman. Itu gak salah sih, tapi itu salah satu yang perlu di pertimbangkan aja. Bukan primary purpose.

Sebelumnya, bukannya aku gak memperhitungkan orang lain dalam mengambil sikap. Tapi mungkin masih lebih banyak pake mode copy paste??? eheheheh.

Aku pikir secara alam bawah sadar aku tahu how to be kind and treat people politely in general. Alakadarnya.

Perhaps my parent has taught me that or I learned from the society/ environment how to do it. And still, I guess, it’s not empathy.

Wajar, lama-lama aku jadi bingung dimana batasannya.

Aku gak paham, sampai kapan harus tetap berusaha baik ke orang lain dan kapan harus berhenti. Beberapa kejadian pernah sangat membekas. It’s really confusing and overwhelming, very often. Disini aku jadi sadar, apa tujuan berempati?

This is my journey!

Re-define Empathy While Growing Up

Empati itu memahami perspektif (pikiran dan perasaan) orang lain. Selesai disana saja. Itu adalah penjelasan yang aku dapat dari salah satu sesi konsultasiku sama psikolog. Tujuannya supaya kita bisa mengambil sikap yang lebih besar dampak baiknya. Itu menurut dosen psikologi waktu aku masih kuliah.

Secara umum aku sepakat, tapi masih ada hal yang perlu di perjelas, yaitu tentang dampak baik. Dampak baik untuk siapa?

Dampak baik ternyata harus di ukur dari berbagai perspektif (diri kita, orang lain, dan lingkungan), jangka pendek dan jangka panjang serta manakah yang realistis kita jalani. Dan sekarang aku paham, pada akhirnya kita wajib bermanfaat untuk orang lain dan lingkungan (karena itu kebermaknaan tertinggi sebagai manusia) tapi jangan merusak diri.Jadi bermanfaat untuk diri sendiri juga wajib.

Mungkin sekarang aku perlu ngerubah itu jadi lebih spesifik ke realitasnya saja:

Sampai kapan aku harus terus berusaha memenuhi kebutuhan dan ekspektasi orang lain? Dan saat kapan aku harus berhenti.

“We can’t make everyone happy”. Pernah denger?

Aku juga. Tapi aku cukup lama memahami apa maksudnya. Wkwk

Dipenuhi kebutuhan dan ekspektasinya memang menyenangkan dan memang jadi salah satu sumber kebahagiaan. Kita pun sama kan? Tapi nyatanya kita cuma manusia biasa. Energi, waktu dan kemampuan kita terbatas. Jadi memenuhi kebutuhan dan ekspektasi semua orang adalah sesuatu yang imposible! (ini juga berlaku orang lain ke kita)

Kita harus memilih. Masalahnya, untuk memilih dengan baik kita perlu landasan dan cara,

Standart Ngambil Keputusan Dengan Empati

Secara logika, dasarnya bisa karena kedudukan (sebagai apa) dan konsekwensi yang lahir dari sana. Tapi ternyata itu gak cukup!

Akhirnya aku juga sadar kalau aku butuh banyak gaul biar lebih bisa kenal dan paham perspektif orang lain.

Masalah selanjutnya yang aku temui, ternyata aku tetep belum tau kapan aku perlu berhenti berusaha mengenal dan paham perspektif orang lain (khususnya ke pihak yang punya hubungan yang lebih dalam/ atau kepentingan tertentu. Ex : hubungan keluarga, teman dekat, pekerjaan). Sekarang aku paham, batasnya adalah :

  • Saat aku merasa sudah maksimal mengusahakannya. I know it sounds subjective. But subjective thing matter to consider judging something wisely. Maksimal itu ukurannya adalah kesadaran maksimal kita tentang usaha-usaha yang terpikirkan dan kita nilai benar.
  • Saat itu mengganggu fungsi ku sebagai manusia menjalani kehidupan yang berkualitas

What’s on your mind guys?

--

--

Yulindann | Temen Mikir
Yulindann | Temen Mikir

No responses yet